•  - 
    English
     - 
    en
    Indonesian
     - 
    id

Muchamad Taufiq, S.H.,M.H : HARI GURU: MOMENTUM KEMBALI KE JATIDIRI

HARI GURU : MOMENTUM KEMBALI KE JATIDIRI

pak taufiq

Oleh : Muchamad Taufiq, S.H.,M.H. [1]

PENGANTAR

Tiada kata terindah yang dapat diucapkan dihari yang indah ini, kecuali “DIRGAHAYU GURU INDONESIA, DITANGANMU NASIB GENERASI INI KAU BENTUK”. Guru merupakan istilah yang sangat lama telah bersemayam dihati segenap anak bangsa, sebagai “PAHLAWAN TANPA TANDA JASA”. Sebagai tanda penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan, menetapkan hari lahir PGRI pada tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.

Meski term sebagai “Pahlawan Tanda Jasa” itu tidak lagi “seangker” masa lalu seiring dengan berbagai fenomena yang “mungkin” dinilai telah mencederai sebuah tugas mulia sebagai seorang “GURU”.  Dimasa lampau akan selalu terngiang bahwa hampir semua orang tua akan bangga bahkan mendorong kelak anaknya akan menjadi seorang guru, karena “Guru” merupakan profesi teramat mulia, memberikan ilmu yang saat ini lebih dikenal dengan istilah “knowledge transformation”.

Saat ini perlu pemahaman secara normatif bahwa dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maka term ”Guru” tidak lagi sendiri namun bersama “Dosen” yang  mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Justifikasi terhadap kedudukan guru dan dosen  sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Termaktub dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Guru dan Dosen didefinisikan profesional. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Namun saat ini akan lebih bijaksana kalau penulis memfokuskan pada subyek “Guru” yang memang memiliki tugas dan rentang pengabdian lebih besar yaitu sejak SD sampai dengan SMA, meski pada tataran operasionalnya yang dilakukan Dosen adalah identik yang dilakukan seorang Guru. Guru saat ini dituntut untuk memiliki kinerja dan kompetensi karena memikul tang­gung jawab utama dalam tran­sformasi orientasi peserta didik yang biasanya tergantung menjadi mandiri, dari ketidaktahuan menjadi tahu,  dengan metode­-metode pembelajaran untuk mempersipakan  peserta didik berpengetahuan yang senan­tiasa mampu menyerap dan menyesuaikan diri dengan infor­masi baru bukan lagi membentuk  peserta didik yang pasif. Peserta didik saat ini harus diarahkan untuk memiliki kemampuan  dengan berfikir, ber­tanya, menggali, mencipta dan mengembangkan cara-cara ter­tentu dalam memecahkan mas­alah yang berkaitan dengan kehidupannya.

MOMENTUM KEMBALI KE JATIDIRI

Sudah lazim setiap peringatan terhadap fenomena besar adalah melakukan instrospeksi atas profesionalitas profesi, bukan sekedar gaung yang diwujudkan dengan kegiatan apel besar dan sejenisnya, meskipun hal itu dibutuhkan dalam rangka unjuk eksistensi komunitas.

Seiring dengan menguatnya tekanan HAM disemua lini termasuk dalam urusan pendidikan “proses belajar mengajar” maka harus menjadi perhatian khusus bagi seorang guru termasuk organisasi yang menaungi guru yaitu “PGRI”. Guru sudah saatnya untuk mereposisi dirinya dari 2 sisi yaitu internal dan eksternal dari sisi hukum.

Secara internal Guru saat ini harus melakukan comparative eksistensinya dengan para guru pendahulu yang mungkin disebut lebih “tradisional”. Sekurangnya dua dekade sebelumnya guru memiliki levelitas sangat tinggi untuk menerima mandat dari masyarakat “para orang tua” untuk melakukan proses pendidikan dengan berbagai konsekuensinya. Sehingga ketika seorang guru melakukan proses penghukuman kepada murid, fenomena itu akan diterima dengan “bahagia” oleh orang tua sebagai bentuk telah diberikannya mandat kepada guru untuk membentuk prilaku “murid” yang nota bene anak-anak dari para orang tua.

Namun mengapa saat ini terjadi pergeseran makna terhadap persepsi “hukuman terhadap murid?”. Penulis dapat menguraikan beberapa faktor internal yang mungkin dapat digunakan sebagai pencerahan bersama.

  1. Konsep indah pengajaran dari Ki Hajar Dewantara “ ing ngarsa sung tulodho “ mulai banyak ditinggalkan, baik sengaja maupun tidak sengaja oleh kebanyakan guru. Sudah tersisa sedikit sekali keteladanan yang disisakan oleh para guru, khususnya guru yang masih sangat muda usia. Terkadang pemaknaan guru hanya sebatas “mengajar” saja tapi terlupa faktor “mendidik”nya. Hal ini bukan untuk menggeneralisasi, namun kecenderungan itu menjadi tugas kita bersama untuk melakukan upaya-upaya positif sesuai bidang masing-masing. Terlupa oleh kita bahwa pemikiran, sikap dan tindakan guru itu langsung menjadi “rekaman utama” murid yang akan mengalahkan perintah orang tua dalam diskusi di rumah.
  2. Faktor “goodfaith” yaitu istilah yang penulis ambil dari salah satu azas kontrak perdata yang artinya “itikad baik”. Perlu saat ini para guru “feedback” terhadap sejarah diri masing-masing ketika akan mengambil keputusan atas pilihan hidupnya sebagai seorang “guru”. Dasar itikad baik itu akan terwujud manakala ketika akan menentukan pilihan itu adalah panggilan jiwa untuk menjadi “soko guru bangsa” sehingga hantaman perkembangan zaman dan tunututan kehidupan masa kini tidak akan mampu menggoyahkan cita-cita mulianya. Hal ini akan berbeda manakala “niat” yang mendasari pilihan menjadi seorang guru karena faktor terpaksa, daripada tidak bekerja atau faktor-faktor lainnya yang secara filosofi tidak dapat kita kategorikan “itikad baik”. Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi dilapangan terkait tugas mulia menerima mandat dari para orang tua?
  3. Faktor tuntutan administrasi diberbagai level tugas guru, diakui atau tidak, telah banyak menguras perhatian guru dibanding fungsi “pendampingan” terhadap murid. Sulit saat ini kita menemukan guru meneliti “proses” murid dalam menulis dan lain sebagainya. Seringkali terjebak kesibukan guru didepan meja kelasnya menyita untuk tidak mengamati proses murid didepan meja murid. Sehingga waktu dikelas seringkali tidak maksimal dan tidak sedikit yang menjawabnya dengan lanjutan “les atau tambahan jam pelajaran di sekolah” yang berimplikasi dengan terbitnya “kesadaran untuk iuran tambahan”.
  4. Faktor lemahnya kesadaran guru untuk mengikuti perkembangan hukum terkait profesinya menjadikan sisi tersendiri sebagai “gagap hukum”. Sehingga pergeseran stigma fungsi guru dihubungkan dengan perkembangan aturan semacam “HAM, Kekerasan Terhadap Anak” cukup menyulitkan bahwa dapat menjebak seorang yang berpfofesi sebagai guru.

Itulah sedikit dari banyakya faktor internal yang dapat penulis angkat sehingga tanpa terasa menjauhkan hubungan emosional masyarakat “orang tua murid” dengan profesi guru sehingga mengurangi “trust” masyarakat terhadap guru, dari makna “mandat” bergeser pada makna “transaksional” belaka yang sehingga ketika muncul efek tindakan “penghukuman oleh guru“ justru muncul reaksi negatif sebagai bentuk “pelanggaran HAM, Kekerasan Terhadap Anak, dan Pidana” dibanding makna proses “pendidikan” yang tengah dijalankan oleh seorang guru.

ORGANISASI PROFESI

Berbicara tentang organsasi profesi guru yaitu PGRI dapat penulis sampaikan beberapa hal, antara lain :

  1. Keanggotaan

Kehadiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dapat dimaknai sebagai fenomena untuk membesarkan organisasi yang menjadi wadah guru di negeri ini. Pada tataran provinsi sampai dengan kecamatan, Perkembangan PGRI secara mudah dapat kita lihat bahwa penghuni organisasi ini sejak awal banyak diisi oleh guru-guru SD yang memang secara kuantitas keberadaannya lebih besar secara institusi kelembagaan. Selanjutnya perkembangan positif terjadi ketika kesadaran guru yang berada di lembaga SMP dan SMA mulai bergabung sebagai anggota aktif. Saat ini bagaimana kehadiran UU No.14 Tahun 2005 ini mampu bersinergi dengan konstitusi organisasi (AD/ART) PGRI ? semuanya berpulang kepada “kesadaran dasar” anggota PGRI.

Jika konstitusi organisasi PGRI telah menjawab perkembangan itu maka menjadi sebuah “harapan baru” perkembangan organisasi PGRI dimasa depan. Serta tidak kalah penting adalah implementasinya pada tataran berorganisasi untuk hadir saling menguatkan antara guru dan dosen dalam sebuah wadah besar, why not ?

Apakah saat ini profesi Dosen sampai tingkat terbawah dalam organisasi PGRI telah bergabung aktif baik secara kelembagaan maupun perorangan? Fenomenan ini merupakan pekerjaan bersama untuk diwujudkan kedepan demi semakin meningkatkan harkat dan martabat guru dan dosen dalam menjalankan pekerjaan yang mulia.

  1. Kompetensi

Berbicara tentang kompetensi guru dan dosen, maka pendapat Finch & Crunkilton, (1992: 220) Menyatakan “Kompetencies are those taks, skills, attitudes, values, and appreciation thet are deemed critical to successful employment”. Pernyataan ini mengandung makna bahwa kompetensi meliputi tugas, keterampilan, sikap, nilai, apresiasi diberikan dalam rangka keberhasilan hidup dan atau penghasilan hidup. Hal tersebut dapat diartikan bahwa kompetensi merupakan perpaduan antara pengetahuan, kemampuan, dan penerapan dalam melaksanakan tugas di lapangan kerja.

Disisi lain jika kita mengukur kompetensi guru terkait dengan kewenangan melaksanakan tugasnya, dalam hal ini menggunakan bidang studi sebagai bahan pembelajaran yang berperan sebagai alat pendidikan, dan kompetensi pedagogis yang berkaitan dengan fungsi guru dalam memperhatikan perilaku peserta didik belajar (Djohar, 2006 : 130).

kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru sehingga terintegrasi dalam kinerja guru antara lain : 1) Kompetensi Pedagogik, 2) Kompetensi Kepribadian, 3) Kompetensi Sosial
dan 4) Kompetensi Profesional sebagaimana terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

Eksistensi PGRI sangat berperan dalam mengawal perwujudan kompetensi guru mulai dari Pusat sampai dengan tingkat kecamatan sehingga tidak terdapat kesenjangan yang tajam dalam hal kualitas guru. Eksistensi PGRI sangat strategis menjadi mitra pemerintah untuk secara utuh melakukan pembinaan profesi, demikian sebaliknya pemerintah harus memberikan ruang yang memadai kepada PGRI untuk menjadi mitra strategis secara “substantif profesi” dan tidak hanya sebatas ruang “aktualisasi organisasi” melalui rangkaian kegiatan hari lahir organisasi dan gelar apel semata, meski itu tetap dibutuhkan sebagai “moral force”. Karena saat ini masyarakat sangat berharap terhadap PGRI untuk melakukan peran aksinya secara lebih tajam dan nyata guna mendongkrak mewujudkan pendidikan nasional yang berkarakter.

  1. Fungsi Perlindungan Hukum

Keberadaan PGRI senantiasa diharapkan dengan serius oleh anggota manakala terdapat kasus hukum yang menimpa profesi guru. Para guru diseantero bumi pertiwi selalu berharap bahwa PGRI sebagai naungan profesi akan memiliki fungsi organisasi yaitu : fungsi pembinaan, fungsi perkaderan dan fungsi perlindungan hukum. Dewasa ini yang perlu digarap serius adalah fungsi perlindungan hukum. Akurasi kecepatan bertindak serta fungsi mediasi organisasi akan sangat bermanfaat bagi profesi guru sehingga tidak merasa “sendiri” manakala menghadapi proses hukum atas aktifitas aktifnya sebagai seorang guru.

Fenomena menunjukkan perlunya backup penuh PGRI terhadap anggotanya, dengan tetap mengedepankan peran perlindungan atas anggota karena “presemption of innontion”. Tekanan dan intervensi dalam bentuk apapun tidak boleh menyurutkan fungsi perlindungan PGRI terhadap anggota karena sejak awal “profesi guru” sudah tidak memiliki pilihan “wadah berhimpun” selain PGRI sehingga sebaliknya terdapat “kewajiban azasi” organisasi untuk melindungi profesi anggotanya pada tingkat manapun dengan penuh keadilan.

Perlu disadari pula, semakin banyaknya kekalahan kasus yang berawal dari “dugaan pelanggaran, dugaan melakukan tindakan kekerasan” oleh seorang guru sehingga berakhir di ranah peradilan akan memiliki stigma negatif dalam proses pendidikan yang diperankan oleh seorang guru dan disisi lain dapat meyurutkan semangat guru untuk melakukan aktifititas “mendidik” maka diujung akhir akan terjadi degradasi moral dan merupakan ancaman terhadap cita-cita menciptakan insan generasi bangsa yang berkarakter. Penulis berpendapat, rontoknya budaya bangsa adalah ancaman yang sebesar-besarnya bagi masa depan bangsa dan kondisi itu dipundak Guru semuanya berawal. Dirgahayu Guru Nasional, Terimakasih Guruku.

[1] Mahasiswa Pascasarjana (S3) Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember
Dosen STIE Widya Gama Lumajang, Bidang Hukum-HAM& LH PPM Jawa Timur, Pengurus PMI Jawa Timur, Bidang Organisasi& Hukum Kwarda Jatim, Gerakan Pramuka 2010-2015.