•  - 
    English
     - 
    en
    Indonesian
     - 
    id

KEPAHLAWANAN DAN NILAI-NILAI JSN45

KEPAHLAWANAN DAN NILAI-NILAI JSN45

taufik

Oleh Muchamad Taufiq, S.H.,M.H.

Mahasiswa Pascasarjana S3 FH UNEJ, Kabid Hukum-Ham-LH PD. PPM Jawa Timur, Bidang Organisasi & Hukum PMI Jawa Timur, Pengprov FORKI Jawa Timur.

PENDAHULUAN

Hanya Bangsa yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya Dapat Menjadi Bangsa yang  Besar.  “Satukan Langkah untuk Negeri” merupakan tema peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 2016. Setiap memperingati Hari Pahlawan membuat kita ingat pada sejarah heroik perjuangan “arek-arek Suroboyo” dibawah pimpinan Bung Tomo. Tidak menutup kemungkinan pada tanggal 10 Nopember 1945 ditempat lain penjuru nusantara ini juga terdapat perlawanan terhadap penjajah. Mereka yang berjuang dan akhirnya gugur melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan kala itu kita sebut “Pahlawan”. Tidak sedikit anak bangsa yang mendapatkan gelar “Pahlawan” secara dejure namun sesungguhnya sangat banyak “Pahlawan” secara defacto. Artinya secara dejure gelar Pahlawan memang sudah diatur tata cara dan syarat pemberiannya dalam UU No. 20 Tahun 2009, namun sesungguhnya tidak sedikit anak bangsa yang pantas disebut “Pahlawan”.

PAHLAWAN NASIONAL

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan memberikan definisi terhadap Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Gelar berupa Pahlawan Nasional dan didalam pemberian Gelar dapat disertai dengan pemberian Tanda Jasa dan/atau Tanda Kehormatan.

Untuk mendapatkan Gelar Pahlawan sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2009 harus memenuhi 2 syarat yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a terdiri atas :

a. WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; b. memiliki integritas moral dan keteladanan; c. berjasa terhadap bangsa dan negara; d. berkelakuan baik; e. setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. Syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b untuk Gelar diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang semasa hidupnya: a. pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa; b. tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan; c. melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya; d. pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara; e. pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa; f. memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau g. melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.[1]

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Fenomena pemberian gelar pahlawan, pada Tahun 2016 ini masih tetap menyisakan polemik pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto. Entah sampai kapan bangsa ini tenggelam dalam putaran yang tidak pernah berhenti untuk dapat mengapresiasi karya anak bangsa. Pahlawan tidak akan pernah lepas dari sejarah. Sejarah memang harus terjadi pada masanya dan tidak akan pernah dapat dilepaskan sejarah Indonesia dengan kehadiran Orde Lama, Orde Baru dan “Orde Reformasi” yang merupakan rangkaian panjang sejarah bangsa ini untuk tetap eksis sampai saat ini. Sehingga kita juga harus adil dalam menilai eksistensi “Orde dan Tokohnya” yang akhirnya mengantarkan kita pada suatu kesadaran hakiki bahwa “Tokoh Orde” adalah orang terbaik dijamannya dan memang harus seperti itu sejarah Indonesia ditulis. Maka tidaklah bijak jika kita saat ini sebagai generasi penerus bangsa hanya bisa menilai kesalahan dan kekurangan para tokoh bangsa karena bangsa Indonesia ini dibentuk dari berkumpulnya kekurangan dan panggung berbangsa dan bernegara ini bukanlah tempat yang sempurna.

JIWA SEMANGAT NILAI-NILAI 45

Dokter Sutomo dihadapan polisi-polisi Belanda Tahun 1928 menyampaikan, “ Lagu kebangsaan Indonesia Raya akan dinyanyikan semua hadirin berdiri yang tidak berdiri adalah kerbau”.[2] Kelahiran angkatan 45 tidak terlepas dari era 1928 dan 1908. Kata-kata tegas Dokter Sutomo kala itu merupakan keberanian yang luar biasa dan menunjukkan sebuah semangat yang luar biasa terhadap “sesuatu” tentang kebangsaan. Jika pesan Dokter Sutomo itu kita bandingkan dengan fenomena saat ini, bagaimanakah sikap kita ketika sedang menyanyikan dan/ atau mendengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ? tentunya beragam jawaban yang muncul dan sebagian besarnya adalah kita tidak pernah serius terhadap “lagu” itu, kita tidak pernah menjiwai dan akhirnya kita memang tidak pernah serius dalam menata diri untuk hidup berbangsa dan bernegara.

Wage Rudolf Supratman pencipta lagu “Indonesia Raya” telah menyusun baris syair demikian, “…bangunlah jiwanya bangunlah badannya…”[3]. Kita hampir tidak pernah memperhatikan bahwa dalam syair itu terdapat makna filosofi yang dalam. Bukan tanpa maksud pencipta meletakkan kata “jiwa” lebih dahulu dibanding kata “badan” untuk dibangun. Maknanya adalah kesehatan jiwa jauh lebih penting dibanding kesehatan badan, akibat tidak sehatnya jiwa lebih berbahaya daripada akibat tidak sehatnya badan. Fenomena masa kini menunjukkan bahwa degradasi moral telah terjadi dimana-mana dan itu sangat membahayakan masa depan bangsa. Generasi muda telah tercemari dengan narkoba dan gaya hidup hedonisme, maka hal apa lagi yang ditunggu untuk lemahnya suatu bangsa ?

Pesan fenomenal Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya…Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”[4]. Pesan ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya eksistensi pemuda dalam suatu bangsa dan generasi muda selalu mengambil peran penting dalam setiap era perjuangan bangsa Indonesia.

Nilai-nilai penting yang yang harus diketahui bangsa Indonesia terutama generasi mudanya adalah Jiwa Nilai 45. Secara umum, Jiwa adalah sesuatu yang menjadi sumber kehidupan dalam ruang lingkup mahluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan keseluruhan keadaan batin manusia yang terdiri atas pengenalan (kognitif), perasaan (afektif), kehendak (konasi), dan psikomotorik. Jiwa45 adalah sumber kehidupan bagi perjuangan bangsa yang merupakan kekuatan batin dalam merebut, mempertahankan kemerdekaan, menegakkan kedaulatan rakyat, dan mengisi kemerdekaan Semangat adalah roh kehidupan yang memberi kekuatan dan dorongan berkehendak, bekerja dan berjuang; baik yang datang dari dalam diri (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik), dan terutama atas dasar ketakwaan. Semangat45 adalah dorongan dan perwujudan yang dinamis dari Jiwa45 yang membangkitkan kemauan untuk berjuang merebut, mempertahankan kemerdekaan, menegakkan kedaulatan rakyat, dan mengisi kemerdekaan. Nilai adalah konsep abstrak mengenai suatu masalah dasar berupa norma agama, budaya dan moral bangsa yang sangat penting dalam kehidupan dan mempengaruhi tingkah laku. Nilai45 adalah norma yang telah didapat dan disepakati sebagai ukuran dari sifat/perbuatan dan dinyatakan dalam kualitas. Angka 45 menunjukkan tahun yang merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam mengakomodasi etos kejuangan bangsa sehingga dapat memproklamasikan kemerdekaan bangsa. Jiwa, Semangat dan Nilai-nilai 45 adalah dasar, kekuatan, daya dorong dan moral perjuangan bangsa. Merupakan suatu rangkaian kata yang erat berkaitan, dapat dibedakan tetapi tak dapat dipisahkan dan harus diartikan sebagai kesatuan yang bulat dan utuh.[5]

Sejarah masa lalu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia ini sangat kuat namun kehancurannya juga ditunjukkan oleh sejarah melalui perpecahan. Tidak akan ada bangsa lain yang mampu mengalahkan bangsa Indonesia selama rakyatnya bersatu. Kebesaran kerajaan Sriwijaya sangat luar biasa sebelum perang saudara dengan Mataram sehingga menjadikan peluang Rajendra Chola dari India untuk menyerangnya. Kerajaan Majapahit yang mengalami jaman kencono rusmini ketika dipimpin Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada dengan “Sumpah Hamukti Palapa” akhirnya juga mengalami perang saudara seiring dengan berkembangnya kerajaan Islam. Kedua kerajaan besar itu runtuh bukan karena invasi asing namun karena perebutan kekuasaan yang berujung  pada perpecahan yang berakibat pada pelemahan.

Nilai-nilai luhur yang mengantarkan bangsa Indonesia pada kemerdekaan 1945 antara lain adalah nilai : kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan tanggung jawab, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, keadilan[6] dan tanpa pamrih. Nilai-nilai luhur itu hendaknya dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Misalnya dari nilai kejujuran maka akan mendasari nilai Pendidikan Anti Korupsi di Indonesia, karena permasalahan masif korupsi itu harus dimulai dari pembangunan karakter manusianya. Masih adakah keteladanan para pemimpin bangsa, pejabat negara, pimpinan parpol, dan pimpinan organisasi masyarakat  yang menjunjung nilai kejujuran ?

Nilai-nilai luhur JSN45 sangatlah efektif untuk melawan situasi saat ini yang menunjukkan gejala pergeseran dari  perang konvensi kepada perang gaya baru yaitu perang : asimetris, hibrida dan proxy. Perang asimetris adalah perang antara belligerent [7] sementara perang hibrida merupakan perang yang menggabungkan teknik konvensional, asimetris dan informasi. Sedang Proxy War adalah sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan “boneka” untuk  menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan mengurangi resiko konflik langsung yang beresiko pada kehancuran fatal[8].

Sehingga memaknai pengamalan nilai-nilai JSN45 bukan berarti melakukan action fisiknya dihadirkan sekarang dari masa lampau, namun roh perjuangannya itulah yang kita wujudkan dalam bentuk lain yaitu berkarya secara profesional dan sungguh-sungguh. Semangat mewujudkan hukum sebagai panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena  “Indonesia adalah negara hukum” sehingga tercipta kondisi hukum yang berkepastian, berkeadilan serta bermanfaat bagi masyarakat. Jika hal demikian terwujud dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara kita maka bukan hal yang mustahil jika Indonesia sebenarnya telah memenagi dari kecamuk perang dewasa ini, sebagaimana  dikatakan Sun Tzu, “sebab itu, memenangkan seratus kemenangan dalam seratus pertempuran bukanlah pertanda kemahiran. Puncak kemahiran adalah mengalahkan musuh bahkan tanpa perlu berperang”.[9]

Maka sebenarnya tidak ada kata lain, dalam memperinganti Hari Pahlawan ini hendaknya dijadikan starting point untuk meneguhkan semangat kebangsaan, akar kerakyatan dengan melaksanakan Nilai-nilai JSN45 berdasar Pancasila dan UUD NRI 1945 dalam Ke-bhinneka Tunggal Ika-an berwadah NKRI. Tidak akan pernah ada kemenangan tanpa persatuan, tidak ada persatuan tanpa kebersamaan dan tidak ada kebersamaan tanpa toleransi dan saling hormati.

KESIMPULAN

    1. Sebagai generasi muda kita harus tetap optimis akan kearifan lokal dalam ikut serta membangun bangsa dan negara yaitu dengan JSN45 (Jiwa, Semangat, Nilai-nilai 45) sebagai Nilai Kejuangan Bangsa Indonesia. Kita berupaya sungguh-sungguh tetap melestarikan JSN45 sebagai Nilai Kejuangan Bangsa Indonesia dalam upaya pembangunan watak dan kepribadian bangsa sebagai bangsa pejuang melalui pelaksanaan Gerakan Nasional Kesadaran Kebangsaan guna mempersiapkan warga negara terutama calon-calon pemimpin bangsa yang berkualitas dan berkepemimpinan sesuai cita-cita kebangsaan yang mampu mengemban Citra Proklamasi 1945 serta menjadi perekat berbangsa dan bernegara.
    2. Dalam berbangsa dan bernegara kita harus sadar bahwa ancaman terhadap NKRI sebagai negara yang memiliki kekayaan alam luar biasa, berasal dari internal dan eksternal. Kecenderungan disintegrasi bangsa, lemahnya generasi muda dan saling curiga adalah contoh faktor internalnya. Sementara kecemburuan bangsa lain yang menginginkan Indonesi tidak maju adalah melakukan politik adu domba dengan perang jenis baru yaitu perang asimetris, perang hibrida dan perang proxy.
    3. Saatnya bagi segenap anak bangsa untuk bersatu padu menyatukan langkah membangun negeri dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi maupun golongan yang akhir-akhir ini nampaknya sering terjadi bahkan sampai menimbulkan konflik.

[1] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009

[2] Gatot Nurmantyo, Jenderal TNI. Memahami Ancaman, menyadari Jati Diri sebagai Modal Membangun Menuju Indonesia Emas (disampaikan dalam Sambutan Pembukaan Munas IX PPM Tanggal 7 Agustus 2016 di Hotel The Media Jakarta)

[3] Teks Lagu Indonesia Raya

[4] Gatot Nurmantyo, Jenderal TNI. Memahami Ancaman, menyadari Jati Diri sebagai Modal Membangun Menuju Indonesia Emas (disampaikan dalam Sambutan Pembukaan Munas IX PPM Tanggal 7 Agustus 2016 di Hotel The Media Jakarta)

[5] Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, PE, MH Constitutional Lawyer, Bid EkoKesRa DHN45 (https://jakarta45.wordpress.com/2008/12/07/pengertian-jsn-jiwa-semangat-nilai2-45/)

[6] Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, 2011. Kemendikbbud RI Dirjendikti, Jakarta.

[7] Suryohadiprodjo, S, 2011. Perang Asimetris di Libya.

[8] Gatot Nurmantyo, Jenderal TNI. Memahami Ancaman, menyadari Jati Diri sebagai Modal Membangun Menuju Indonesia Emas (disampaikan dalam Sambutan Pembukaan Munas IX PPM Tanggal 7 Agustus 2016 di Hotel The Media Jakarta)

[9] Wee Chow Hou, Lee Khai Sheang dan Bambang. Sun Tzu Perang dan Manajemen.1992. PT. Gramedia, Jakarta.

Tags