MEMAKNAI PERINGATAN HUT REPUBLIK INDONESIA KE-71
DI ERA PEMBANGUNAN EKONOMI KERAKYATAN
Oleh: Fauzan Muttaqien
(Mahasiswa Doktor Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisinis Universitas Jember)
NKRI kini telah berusia 71 tahun (17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2016). Jika seluruh elemen masyarakat memperingatinya dengan upacara dan berbagai bentuk kegiatan yang mengekspresikan kebahagiaan, itu berarti rakyat Indonesia juga diminta mengingat kembali “apa-apa” yang telah diperbuat oleh Founding Fathers Republik Indonesia. Sebut saja Bung Karno, Bung Hatta, Dr. Wahidin Soediro Husodo, Dr. Soetomo, KH Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dll. Bahkan semua elemen bangsa juga diminta untuk memperhatikan “nilai dan kebijakan” pemerintahan yang telah dilakukan para Presiden RI hingga Presiden Joko Widodo yang saat ini masih menjabat.
Fakta menyatakan bahwa para pendahulu kita telah berhasil mengantar rakyat Indonesia yang terjajah menjadi bangsa merdeka di bawah naungan NKRI dari sabang sampai merauke. Para kepala pemerintahan telah mengukir sejarah perubahan “nilai dan kebijakan” di berbagai bidang kehidupan menuju semangat revolusi indonesia “Menciptakan Masyarakat Adil Makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Tugas rakyat Indonesia saat ini adalah menjaga eksistensi Negara dan Bangsa dari bahaya “penjajahan gaya baru, ancaman separatisme”. Neo kolonialisme harus dihapuskan dari bumi Indonesia, Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional adalah harga mati dalam tata pemerintahan NKRI. Lebih tepat lagi saat ini kita harus menegakkan 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tungal Ika). Demikianlah misi kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sering didengungkan dan kita dengar dalam pidato-pidato seremonial kenegaraan maupun orasi politik.
Berpijak pada potret tersebut, perlu kita bertanya pada diri masing-masing, tanpa memilah siapa kita dan apapun status sosial kita, umaro’, ulama, dosen, kaum buruh, petani, karyawan (PNS/Swasta) dan seterusnya, masyarakat kaya maupun miskin, aparatur pemerintah dari tingkat kelurahan/desa hingga Presiden. Sudahkah kita berbuat untuk mengantar NKRI ini ke jenjang derajad suatu negara dan bangsa yang bermartabat dan berharga dimata dunia internasional? Tentu sulit untuk menjawab secara verbal. Plus minus pelaksanaan proses pemerintahan selama ini masih mewarnai perdebatan di kalangan elemen bangsa. Betapapun demikian, kita patut akui bahwa siapapun kepala pemerintahannya, semuanya telah berhasil menanamkan jiwa “Persatuan dan Kesatuan” kepada rakyat Indonesia, right or wrong is my country.
Untuk mempertahankan semangat dan kecintaan rakyat Indonesia kepada NKRI, pemerintah perlu meningkatkan nilai-nilai emansipatoris. Elemen masyarakat lebih ditingkatkan perannya dalam pembangunan dan menghindarkannya dari struktur maupun regulasi yang menghambat pengembangan kemampuannya atas dasar kekuatan sendiri (self reliance).
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998 berpendapat bahwa “pembangunan bukanlah proses yang “dingin”, menakutkan dan mengorbankan darah serta air mata. Pembangunan adalah sesuatu yang “bersahabat”. Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy). Asumsi pemikiran Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Kemakmuran sebuah bangsa akan dicapai melalui kekuatan rakyat yang berdaya. Masih menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Keterbatasan akses menyebabkan manusia kehilangan pilihan dalam mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan berekonomi (berwirausaha), kesempatan sosial (pendidikan dan kesehatan), serta adanya jaring pengaman sosial (social safety net).
Jika saat ini potret bangsa diusianya yang ke 71 tahun, masih mencerminkan kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin, masyarakat miskin semakin tak berdaya, pengangguran makin membengkak, akhlaq sosial makin vulgar. kriminalitas bukan hanya dilakukan oleh mereka yang kesulitan ekonomi, tetapi lebih fatal dilakukan oleh “White Collar Criminals”– koruptor, pengusaha hitam karena keserakahan. Tentunya berdampak pada stigma NKRI pada derajad “kurang terhormat” sebagaimana stigma yang pernah muncul pada media “RI salah satu negara terkorup”.
Untuk itu, momen memperingati HUT RI pada 17 Agustus 2016, tepatlah jika disikapi sebagai titik tolak untuk meningkatkan kembali semangat patriotisme, mengembalikan jatidiri sebagai bangsa yang relijius, retrospeksi, introspeksi demi memelihara cita-cita mulia para Founding Fathers Republik Indonesia, yaitu mengemban amanat penderitaan rakyat menuju Kedaulatan Rakyat. Menjaga Persatuan dan kesatuan bangsa menuju Indonesia emas 2020.(Hr)