Artikel oleh Muhammad Hoiru Nail SH., MH.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember.
Indonesia lagi – lagi dihebohkan oleh berita yang membuat decak kagum masyarakat indonesia, lebih tepatnya dihebohkan oleh pegawai di lingkungan Mahkamah Agung. Kasubdit Pranata Perdata Mahkamah Agung karena diduga menerima suap atas jasa penundaan pengiriman salinan putusan kasasi, dan terakhir adalah Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi mengeluarkan pencekalan terhadap sekretaris Mahkamah Agung keluar negeri terkait kasus yang ditangani oleh KPK yakni terkait dugaan kasus pemberian hadiah atau janji dalam kaitan dengan pengajuan Peninjauan Kembali di Pengadilan Jakarta Pusat, dan masih ada beberapa nama oknum hakim yang mencuat namanya yang akan dilakukan pencekalan serupa oleh KPK.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Wakil ketua KPK Saut Situmorang yang mengatakan bahwa hal terebut terjadi karena lemahnya sistem (dikutip di kompas.com.). Saya berpendapat bahwa sistem yang sedang dibangun saat ini mengalami kelemahan lebih khusus dalam hal pengawasan terhadap pegawai di Pengadilan Mahkamah Agung. Lemahnya sistem ini menjadi celah korupsi di lingkungan peradilan.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang pada intinya hakim hakim tidak bisa diawasi oleh komisi yudisial merupakan cikal bakal hakim tidak bisa dilakukan pengawasan oleh lembaga yang independen yang berda diluar institusi peradilan, argumentasi hukum yang dibangun pada saat itu bahwa di MA sudah ada pengawasan yang bersifat internal dan bertingkat. Terlepas dari konstitusionalitas norma yang memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan di lembaga peradilan telah menjadi inkonstitusinal, pengawasan terhadap pelaku kekuasaan kehakiman perlu dilakukan.
Hakim-Hakim, pegawai di pengadilan merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi dan kewenangan berdasarkan undang-undang, oleh karenanya dalam hal menjalankan kewenangannya diperlukan suatu pengawasan. Sistem pengawasan di manapun di belahan negara yang paling efektif adalah pengawasan yang dilakukan secara ekternal atau oleh badan yang bersifat independen. Pengawasan intern/pengawasaan yang saat ini dilakukan bukan merupakan pengawasan yang optimal, dengan kata lain bagaimana mungkin suatu lembaga negara dapat menilai atau mengawasi lembaganya sendiri.
Lawrent M Friendman mengatakan hukum yang baik itu memiliki hal yang 3 hal yang semuanya harus berjalan dengan baik. Pertama substansi atau aturan yang baik, kedua struktur atau aparat penegak yang baik, dan yang ketiga kultur atau budaya hukum yang tinggi dan baik oleh masyarakat. Jika ketiganya telah berjalan dengan baik maka negara hukum yang mensejahterakan rakyatnya atau walfare state akan tercapai.
Perbaikan sistem kedepan yang harus diperbaiki adalah yaitu ”MEMBANGUN KETAATAN HUKUM MELALUI PENGAWASAN DAN PENERAPAN SANKSI” harus segara dilakukan, namun saya mengingatkan bukan hanya sekedar pengawasan yang tidak memiliki alas dasar yang jelas, setiap kegiatan pengawasan harus dilakukan dengan kewenangan yang telah diberikan oleh Undang-undang. Oleh karenanya pengawasan terhadap peradilan ini harus dimulai oleh perubahan terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial yang sekali lagi memberikan kewenangan pengawasan terhadap pelaku kekuasaan kehakiman, namun dengan beberapa karater pengawasan. Mengingat sebelumnya norma pengawasan telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK(hal ini diperlukan supaya perubahan yang dilakukan oleh DPR bukan suatu norma yang sama yang telah dibatalkan MK). Termasuk dalam perubahan tersebut disematkan pula pengawasan intern yang ada di peradilan Mahkamah Agung dapat bekerja sama dalam hal pengawasan agar lebih optimal.
Di dalam ilmu hukum perkembangan pemikiran Hukum yang jelek namun dilaksanakan oleh pelaksana/aparatur yang baik maka hasilnya akan baik. Hukum yang baik dilaksanakan/aparatur yang jelek maka outputnya akan buruk. dan yang paling baik adalah hukum yang baik dilaksanakan/aparatur yang baik outputnya akan baik. Kedepan sistem yang jelek ini kita harus dorong untuk perbaikan dengan cara sistem pengawasan atau kontrol yang bersifat ekternal sembari memperbaiki aparatur yang hendak menjalanakan kontrol tersebut.(hr).