Best Practice dalam Dokumentasi dan Publikasi Membantu Provider Kesehatan Melawan Tuberculusis (TB)

13020467_10204583122936759_1591203893_n

Oleh: M. Henri Wahyono
Mahasiswa Program Pascasarjana  Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Pepatah ini menyiratkan betapa berharganya sebuah pengalaman untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, tindakan bahkan dapat memecahkan masalah bagi yang mengadopsi pengalaman baik yang disampaikan secara langsung ataupun melalui media massa dalam penyampaiannnya.  Ini berlaku pada para provider kesehatan khususnya ketika melakukan intervensi program pencegahan dan penanggulangan penyakit Tuberculosis (TB). TB Adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini paling sering menyerang paru-paru walaupun pada sepertiga kasus menyerang organ tubuh lain dan ditularkan orang ke orang. Ini juga salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang manusia. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari setengah kasus. Upaya penanggulangan penyakit ini masih terus diikuti oleh peningkatan penyebaran epidemic di berbagai wilayah di Indonesia walaupun strategi DOTS (Direct Observe Treatment Short Course) yang dilakukan sejak tahun 1999 lalu dinilai strategis secara cost-effectiveness.

Best practice atau pengalaman terbaik merupakan kumpulan dari berbagai program yang menunjukkan keberhasilan intervensi. Dalam hal ini termasuk intervensi penanggulangan penyakit TB. Best Practice tidak harus selalu mengacu pada pengalaman sempurna dan terstandar tanpa adanya kesalahan pada saat melakukan intervensi, namun dalam Best Practice  lebih mengetengahkan fakta intervensi yang telah terjadi, khususnya pada nilai dan pembelajaran yang bisa diambil dari program yang dijalankan meliputi proses penerapan pengetahuan, perbaikan dan berbagi pengalaman. Pengalaman ini tentu tidak hanya semata pengalaman namun dilakukan oleh provider kesehatan mulai dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Puskesmas, Rumah Sakit baik negeri ataupun swasta, klinik, masyarakat ataupun perorangan.

Tujuan dari Best Practice sama dengan pelaksanaannya yaitu tidak lain agar provider kesehatan dalam melakukan intervensi program TB tidak melakukan kesalahan yang sama, karena telah diinformasikan seluruh proses yang telah berlangsung dan nilai pembelajarannya. Selain itu melanjutkan dan memperbaiki proses intervensi program TB yang ada, serta melakukan adaptasi terhadap strategi yang telah dilakukan tentunya meneruskan efektivitas dari strategi DOTS.

Sebuah pertanyaan besar muncul ketika provider berhasil melaksanakan program, yaitu apakah programnya patut dianggap pengalaman terbaik?. Pertanyaan ini wajar muncul ketika provider merasa kurang percaya diri dari hasil program yang telah dilakukan. Siapa saja berhak membuat standar bagaimana program dianggap berpengalaman terbaik selama belum ada ketentuan yang pasti dari pemerintah, namun dari berbagai macam kajian ilmiah dapat diambil ketegasan bahwa sebuah program dianggap baik apabila program itu :

  1. Efektif dinilai dari identifikasi yang jelas mulai dari perencanaan, proses bahkan evaluasinya.
  2. Etika dengan mengedepankan nilai kemanusiaan dan bisa diterima secara sosial dan professional di wilayah program yang dijalankan atau bisa disebut juga reliable.
  3. Relevan terhadap budaya dan norma yang ada di sekitarnya, terutama sesuai dengan kebutuhan komunitas (populasi) penderita TB di wilayah tersebut.
  4. Efektivitas Pembiayaan dapat diukur apabila program dapat mengukur.
  5. Keberlanjutan. Pada kriteria ini harapannya program tetap berlanjut hingga jangka waktu yang panjang terlebih lagi jika dapat berdaya secara ekonomis tanpa tergantung dari pihak pendonor yang mendukung sebelumnya. Dari segi pelayanan kesehatan TB yang diberikan atau produk layanan TB juga dapat dianggap sebagai keberlanjutan. Terkadang pada kriteria ini penokohan menjadi faktor utama adanya program terutama penokohan dalam manajemen program. Oleh karena itu dalam Best Practice seharusnya tidak bergantung pula pada penokohan ini.
  6. Duplikasi ini bisa dilakukan di daerah lain yang memiliki masala, permasalahan sama dalam pencegahan dan penanggulangan TB, namun tentunya memperhatikan dengan kebutuhan yang disesuiakan daerah tersebut.
  7. Inovasi yaitu program yang dilakukan menggunakan metode yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Pada kriteria ini tidak bisa dipungkiri criteria inilah yang memilki kontribusi cukup besar apakah program tersebut dikategorikan sebagai pengalaman terbaik atau tidak. Karena inovasilah yang memberikan jawaban dari merebaknya epidemic TB di berbagai daerah di Indonesia.
  8. Dampak positif akan muncul ketika time bound dari program telah ada, maka program TB  yang baik adalah program TB yang memiliki dampak bagi upaya pencegahan dan penanggulangan TB di Indonesia khususnya. Cukup banyak bukan yang perlu manjadi perhatian para provider kesehatan apakah program yang dilakukannya selama ini merupakan program yang Best Practice. Provider jangan berkecil hati akan hal ini karena seperti disampaikan sebelumnya selama belum ada “aturan main” yang jelas dalam pendokumentasian dan pempublikasian Best Practice TB maka tidak perlu memenuhi seluruh kategori yang ada, karena Best Practice bukanlah pengalaman yang sempurna namun lebih mengedepankan pembelajaran.

Kendala yang dialami oleh para provider dalam Best Practice adalah kesulitan dalam menulis dan mempublikasikannya. Untuk hal ini sebenarnya provider tidak harus melakukan aktivitasnya sendiri bisa menggunakan pihak ketiga yang kompeten misalnya bekerjasama dengan institusi pendidikan yang biasa menelaah secara akademis atau dengan pihak pers. Namun perlu diperhatikan pula tentunya langkah dalam melakukan pendokumentasiannya. Mari kita lihat step demi step berikut ini :

1

Begitu besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari dokumentasi dan publikasi Best Practice. Dengan mengedepankan nilai pembelajaran, maka pengalaman terbaik para provider kesehatan dalam melakukan intervensi penyakit TB nyata perlu didokumentasikan dan dipublikasikan. Pendokumentasian dan publikasinya berhubungan dengan aktivitas penulisan dengan tujuan untuk berbagi dengan stakeholder lainnya. Pendokumentasian menjadi aktivitas penting sesudahnya karena sebaik dan sebesar apapun keberhasilan nilai pembelajaran intervensi pencegahan dan penanggulangan TB mulai dari preventif, kuratif dan rehabilitatifnya jika tidak dibagikan kepada stakeholder lainnya, maka pengalaman yang sudah didapatkan tersebut hanya akan dimiliki oleh sebagian kecil kelompok saja. Kita perlu mengingat bahwa sebaik-baik manusia adalah manusia yang dapat bermanfaat bagi orang lain, termasuk ketika kita mau mendokumentasikan dan mempublikasikan kita sebagai provider kesehatan dalam melawan TB. Stop TB mari kita mulai dari pribadi sendiri.