“MENJAGA INDEPENDENSI KOMISI PEMILIHAN UMUM”

nail

Ditulis Oleh : Muhammad Hoiru Nail SH.,MH. Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum S3 FH Unej. Asisten Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ.

Pemilihan Umum merupakan hal yang akhir akhir ini menjadi topik pembicaraan nasional yang hangat, Hal tersebut dibuktikan dengan pembahasan atas perubahan atas Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. (Dalam artikel akan disebut Undang-Undang Pilkada). Dewan Perwakilan Rakyat sedang melakukan pembahasan atas beberapa pasal yang ada dalam undang-undang Pilkada tersebut sebagai bentuk manifestasi reperesentatif atau mengikuti kebutuhan hukum kekinian. Beberapa topik yang menjadi pembahasan antara lain terkait uji publik pasangan calon, persyaratan calon independen, sengketa hasil Pemilukada, serta tugas dan kewenangan dari KPU dll.

Hal yang layak untuk diperdebatkan dan dilihat dari segi ilmu hukum adalah terkait norma baru yang dirumuskan oleh DPR yakni merumuskan Pasal 9 “Tugas dan Kewenangan KPU adalah menyusun dan menetapkan Peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya mengikat”. Sepintas membaca rumusan norma tersebut tidak ada yang salah, tetapi sebenarnya rumusan norma tersebut telah merampas indepensi dari KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum.

Seperti dilansir oleh kompas dan kompas TV (8/6/2016) KPU berencana melakukan judicial review atau pengujian undang-undang perubahan atas Pemilukada tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun yang menjadi aneh banyak kalangan berkomentar rencana KPU melakukan pengujian atas undang-undang tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak profesionalitas dari penyelenggara pemilihan umum karena akan menghambat tugas utama dari KPU, bahkan yang paling aneh adalah komantar dari anggota DPR yang mengatakan lembaga negara tidak boleh melakukan judicial review, Oknum Anggota DPR bahkan menyatakan “jangan membuat gaduh dan polemik begini dong”. KPU sebaiknya tidak perlu melakukan judicial review namun fokus melaksankan perintah UU Pilkada ini.

Independen, apa sebenarnya makna dari kata independen. Independen berasal dari bahasa inggris yang kemudian diartikan kedalam bahasa Indonesia sehingga independen memiliki arti merdeka. Merdeka dalam hal ini adalah lembaga ini berdiri sendiri dan tidak dapat dicampuri atau diintervensi oleh lembaga apapun di republik ini, termasuk oleh DPR, termasuk oleh presiden. Hal ini sangat dibutuhkan mengingat tugas utama dari KPU adalah sebagai lembaga resmi yang melaksanakan seluruh tahapan pemilu termasuk Pemilukada, oleh karenanya independen merupakan harga mutlak dan secara otomatis melekat pada lembaga ini.

Ilmu hukum akan menjawab secara komprehensif mengenai perdebatan di atas. Pertama, pertanyaan mengenai lembaga negara tidak boleh atau tidak elok menjadi pemohon pengujian undang-undang dengan berbagai macam alasan yang disampaikan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi didalam Pasal 51 Ayat (1) pemohon pengujian undang-undang adalah Perorangan Warga Negara Indonesia, Kesatuan Masyarat Hukum Adat, Badan hukum Publik atau privat dan lembaga negara. Merujuk pada pasal tersebut dengan jelas bahwa KPU bisa menjadi pemohon pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. KPU merupakan lembaga negara seperti yang disebutkan dalam pasal 51 ayat 1 Undang-Undang MK. Bahkan keberadaan KPU sendiri tersurat dalam konstitusi  BAB VIIB tentang Pemilihan Umum Pasal 22E ayat 5 “Pemilihan Umum diselenggaran oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.”  Istilah ketatanegaran KPU merupakan auxiliary state bodys atau lembaga negara pembatu. Tidak ada alas an yang mendasar yang dapat melarang KPU melakukan judicial review atau pengujian UU, Maka terbantahlah opini yang mengatakan bahwa KPU tidak bisa menjadi pemohon pengujian undang-undang. Saya menyatakan dengan tegas maka jika undang-undang perubahan Pemilukada tersebut KPU dapat manjadi pemohon dan langsung mengajukan permohonan pengujian undang-undang tersebut kepada MK

Kedua, persoalan yang paling utama adalah terkait penormaan “Tugas dan Kewenangan KPU adalah menyusun dan menetapkan Peraturan KPU serta pedoman teknis pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya mengikat”. Saya akan mengulas rumusan norma ini yang menurut saya jika ini tetap diundangkan, dan jika diundangkan maka akan menghilangkan independensi dari KPU. Pertanyan yang muncul adalah apakah produk hukum KPU berupa PKPU merupakan peraturan perundang-undangan (menggunakan istilah peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan), tentu jawabnnya ya, PKPU merupakan produk hukum paraturan perundang-undangan yang juga mengikat, hal ini secara norma ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 8 ayat 1 “jenis Peraturan Perundang-undangan selain selain yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan MPR,……Peraturan Komisi Pemilihan Umum.” Artinya PKPU merupakan peraturan perundang-undangan yang mengikat. Lantas yang menjadi masalah adalah norma PKPU dimaksud harus dikonsultasikan dengan DPR dan Pemerintah. Bagaimana mungkin aturan tehnis lanjutan dari pengaturan undang undang masih memerlukan konsultasi dengan DPR dan Pemerintah.

Dalam ranah hukum administrasi dikenal adanya Diskresi atau friesermessen (kewenangan istimewa untuk bertindak dengan melihat kebutuhan hukum) dengan kata lain bahwa kewenangan KPU mengeluarkan PKPU merupakan wewenang mutlak yang melekat kepadanya karena menjalankan urusan pemerintahan atau bestuur, hal ini tentu memiliki tujuan karena undang-undang yang ada tidak secara mendetail mengatur hal-hal yang harus dilakukan, oleh karenanya butuh panduan atau norma sebagai petunjuk untuk melaksanakan sesuatu.

Wewenang yang bersifat istimewa itu mutlak ada pada KPU dan tidak boleh lembaga negara lain dapat mencampurinya, bentuk intervensi atas PKPU merupakan tindakan yang mengaganggu independensi dari KPU itu sendiri. inilah yang dimaksudkan oleh Alternative Rule Of Law Formulation (Pemikiran lanjutan atas konsep rule of law yang disampaikan oleh A.V. Dicey).  Lantas apakah PKPU tidak dapat diuji, tentu dapat diuji, jika ternyata PKPU yang dikeluarkan oleh KPU melenceng dengan aturan Undang-Undang maka dapat dimintakan pengujiannya kepada Mahkamah Agung (Pasal 24A UUD NRI Tahun 1945) namun apabila sepanjang tidak ada yang berkeberatan atas PKPU tersebut maka PKPU itu harus dianggap syah karena berlakunya suatu asas praduga keabsaahan atau presumtio iustae causa. Jika kewengan tunggal yang ada pada KPU harus dibagi dengan lembaga negara lain maka hal tersebut saya anggap merupakan keingkaran dari friesermessen yang dimiliki oleh KPU sebagai penyelenggara pemerintahan atau bestuur serta merenggut independensi yang ada pada KPU.