“MENUNTUT KEADILAN ATAS LARANGAN UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN PRAPERADILAN”

nail

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum FH UNIVERSITAS JEMBER.

Asisten Peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ.

Mahkamah Agung (MA) dibulan april ini telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016. Perma ini secara keseluruhan mengatur mengenai larangan bagi para pencari keadilan (justiciabel) untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan Praperadilan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri. Perma ini secara resmi diumumkan langsung oleh Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di ruang kerjanya Selasa 26 April 2016 (dikutip dari beritacenter.com dan hukum online)

Lantas apa yang di maksud dengan putusan praperadilan, menurut pasal 1 angka 10 junto pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang sah tidaknya penangkapan dan atau penahanan, sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian atas rehabilitasi oleh tersangka. Semula tidak ada yang membuat Mahkamah Agung harus mengeluarkan perma terkait aturan putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum. Keadaan berbeda pada saat praperadilan menyita perhatian banyak masyarakat tatkala kuasa hukum dari Budi Gunawan yang statusnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Permohonan praperadilan kuasa hukum Budi Gunawan selanjutnya didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta selatan.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Sarpin)  hakim tunggal praperadilan pada putusannya menyatakan penetapan tersangka Budi Gunawan dinyatakan tidak sah, artinya pada saat itu hakim pengadilan negeri tidak membatasi objek praperadilan yang ada dalam Pasal 77 KUHAP saja, melainkan menggunakan perluasan penafsiran dengan memasukkan penetapan status tersangka dapat menjadi objek praperadilan. Terlepas pro dan konta yang terjadi putusan praperadilan yang telah dikeluarkan oleh hakim Sarpin dan dalam hukum Indonesia putusan tersebut dapat menjadi sumber bagi hakim – hakim lainnya untuk mengikutinya sebagi sumber hukum atau yurisprudensi.

Penetapan tersangka menjadi objek praperadilan selanjutnya dikuatkan lagi dengan ada pengujian terhadap ketentuan pasal 77 KUHAP. Selajutnya MK mengeluarkan amar putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka menjadi objek praperadilan, artinya dengan kata lain berakhirlah perdebatan akademis terkait pro kontra penetapan objek praperadilan sah menurut hukum manjadi ruang lingkup apa yang dimaksudkan oleh ketentuan pasal 77 KUHAP. Moment ini selanjutnya banyak digunakan seseorang yang statusnya ditetapkan menjadi tersangka oleh kepolisian untuk mempersoalkannya melalui mekanisme praperadilan.

Hal ini yang membuat MA mengeluarkan Perma Nomor 4 Tahun 2016 tentang larangan bagi putusan praperadilan dilakukan upaya hukum banding, kasasi maupun PK. Namun bagimana ilmu hukum melihat Perma tersebut, apakah sudah memenuhi unsur keadilan bagi masyarakat? Atau bahkan Perma ini melanggar keadilan bagi mereka yang mencari keadilan.

MK secara struktural dan sifat putusannya memiliki perbedaan yang mendasar, jika MK putusannya bersifat terakhir dan mengikat (Final and binding). Hal tersebut bahkan telah dikunci oleh konstitusi dalam Pasal 24C UUD NRI, berbeda halnya dengan MA, Mahkamah Agung memiliki hierarki atau tingkatan di bawah MA yakni yang paling bawah sampai tertingi di MA (Pengadilan Negeri-Pengadilan Tinggi Negeri/banding,-MA/kasasi,PK). Dengan kata lain para pencari keadilan diberikan uapaya hukum bagi mereka yang tidak puas atau merasa dirugikan atas putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan tingkat pertama/PN dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan seterusnya sampai pada MA.

Pengadilan yang berjenjang yang ada di MA tersebut dimaksudkan jika terjadi kesalahan atas putusan yang dikeluarkan oleh hakim tingkat pertama dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi dan seterusnya, koreksi tersebut dalam ilmu hukum lebih dikenal dengan koreksi terhadap judex factie dan judex yuris.

MA melalui Perma nomor 4 Tahun 2016 yang menyatakan melarang putusan praperadilan dilakukan upaya hukum merupakan suatu tindakan yang membatasi upaya hukum bagi para pencari keadilan. Jika merujuk pada perma ini, MA mencoba menjadikan putusan yang ada di bawahnya menjadi suatu putusan yang bersifat terakhir dan mengikat seperti halnnya yang dimiliki oleh  MK. Saya rasa ini tidak benar, karena kembali ke karakteristik praperadilan itu sendiri bahwa praperadilan dilakukan oleh hakim tunggal.

Kesalahan oleh hakim dimungkinkan saja dapat terjadi, karena tidak ada hakim anggota yang membantu memeriksa mengadili dan memutus objek praperadilan. Bahkan dalam beberapa kesempatan terkenal suatu putusan yang “masuk angin” yang diakibatkan karena salah satunya keasalahan “error in person”. Disisi lain dalam mengadili objek praperadilan kepolisian tidak akan mungkin mengeluarkan semua barang bukti di persidangan praperadilan karena hal tersebut akan menjadi strategi di pengadilan nantinya.

Saya berharap MA dapat melakukan koreksi terhadap perma yang telah dikeluarannya ini, atau saya mengajak bagi pengakaji ilmu hukum untuk mempertimbangkan pengujian materiil terhadap perma ini, saya berkeyakinan bahwa permohonan keberatan atas perma ini dapat di terima.