PERAN GUMUK DALAM MENJAGA KESEIMBANGAN IKLIM MAKRO DAN MENGURANGI POTENSI BENCANA LOKAL DI KABUPATEN JEMBER

Penulis: Hendra Andiananta Pradana Mahasiswa Program Studi Magister Pengelolaan Sumber Daya Air Pertanian Pascasarjana Universitas Jember Email: hendraandianantapradana@gmail.com

Perubahan iklim global merupakan kondisi yang terjadi akibat transfer energi yang tidak seimbang pada sistem atau siklus yang terjadi di bumi. Variasi peningkatan suhu global merupakan salah satu tanda terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim dapat terjadi secara alami dan aktivitas manusia. Identifikasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan mempelajari histori iklim di bumi beberapa tahun yang lalu dengan beberapa faktor yang berkaitan langsung dengan perubahan iklim yaitu inti es, lingkaran pohon, panjang gletser, serbuk sari, sedimen laut dan perubahan orbit bumi mengelilingi matahari (IPCC, 2013). Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan iklim di global oleh aktivitas manusia yaitu pembangkit listrik tenaga fosil, bahan bakar dari fosil yang digunakan pada kendaraan bermotor, pelepasan gas metana ke atmosfir, penggundulan hutan dan penggunaan pupuk kimia. Beberapa aktivitas tersebut berdampak pada peningkatan pelepasan karbon ke atmosfer sehingga meningkatkan potensi Gas Rumah Kaca (GSK).

Perubahan iklim iklim global memberikan dampak bagi Indonesia. Siklon tropis Cempaka merupakan tekanan udara yang timbul di daerah tropis dengan sifat merusak. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2017), siklon cempaka memberikan pengaruh iklim di Indonesia cukup ekstrim yaitu munculnya angin kencang  hingga mencapai > 20 knot dan hujan lebat di daerah Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Papua. Kondisi ini berpotensi menimbulkan bencana pohon tumbang, banjir, tanah longsor dan gelombang tinggi air laut.

Perubahan iklim juga mempengaruhi iklim mikro suatu wilayah salah satunya Kabupaten Jember. Kabupaten Jember memiliki bentang alam yang cenderung unik. Salah satu keunikan tersebut adalah sebaran gumuk. Sebaran gumuk di Kabupaten Jember terletak pada Kecamatan Arjasa, Sumbersari, Jelbuk, Sukowono, Kalisat, Pakusari, Ledokombo, Mayang dan Sumberjambe. Inventarisasi gumuk yang sudah dilakukan menyebutkan bahwa pada tahun 2012 terdapat 11% gumuk yang sudah rusak (Hariani, 2015). Kecenderungan eksploitasi gumuk dilakukan di Kecamatan Sumbersari karena peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pembangunan infrastuktur. Eksploitasi tersebut diperkirakan akan terus meningkat dan akan berdampak besar bagi kerusakan ekosistem makro di Kabupaten Jember. Beberapa identifikasi dampak dari eksploitasi gumuk yaitu:

  • penurunan jumlah mata air serta berkurangnya daerah resapan air;
  • penurunan keanekaragaman hayati, jenis tumbuhan yang berada di gumuk secara umum yaitu bambu, pohon mangga, pohon randu, pohon pisang, pohon pinang, pohon kelapa, pohon pinang, pohon sengon, pohon rambutan serta pohon jati (Dinas Lingkungan Hidup, 2016);
  • peningkatan suhu di sekitar gumuk karena berkurangnya keanekaragaman hayati;
  • sering terjadinya angin puting beliung di sekitar gumuk yang sudah mengalami kerusakan atau perataan gumuk, salah satu fungsi gumuk sebagai pemecah angin, berkurangnya gumuk meningkatkan risiko bencana alam berupa angina putting beliung dan longsor (Anonim, 2014);
  • penurunan hutan jumlah miniatur hutan kota yang berfungsi sebagai daerah penghasil oksigen serta carbon storage;
  • berkurangnya populasi hewan yang hidup di gumuk misalkan musang, burung hantu, burung perkutut serta capung;
  • potensi terjadinya banjir dan tanah longsor cukup tinggi karena berkurangnya jumlah vegetasi serta yang berakibat pada runoff generation yang tinggi serta kondisi tanah yang labil. Berkuranya daerah resapan air meningkatan potensi bajir dan tanah longsor karena terganggunya salah satu komponen pada siklus hidrologi.

Perubahan iklim global juga mempengaruhi risiko bencana alam yang timbul. Selain itu perubahan iklim global akan berpengaruh terhadap kondisi geografis serta iklim mikro suatu wilayah pula.Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2017), secara umumcuaca di Kabuten Jember memiliki kondisi yaitu suhu 23 – 31 oC; Curah Hujan 47 – 55 mm/jam dengan kategori sedang – lebat dan kecepatan angin 4 – 22 m/s dengan kategori sedang – kencang. Oleh sebab itu fungsi gumuk secara tidak langsung berperan penting dalam menjaga stabilitas secara alami kondisi geografis, iklim makro dan ekosistem Kabupaten Jember, baik fungsi gumuk sebagai pemecah angin serta menjadi daerah resapan air. Menurut Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jember (2016), menjelaskan  bahwa secara umum jenis tanah yang ada di daerah gumuk adalah regosol. Tanah tersebut gembur dan subur. Tekstur tanah di gumuk cenderung sandy clay loam. Tanah tersebut merupakan tanah  alluvial terendampak dari hasil pelakukan batuan vulkanik (Utomo dkk. 2015). Tanah regosol memiliki kencenderungan peka terhadap erosi sehingga tutupan vegetasi berkontribusi penting dalam menjaga stabilitas agregat tanah. Berdasarkan uraian diatas terkait interaksi ekosistem gumuk terhadap siklus hidrologi maka diperlukan pengelolaan terhadap jasa lingkungan yang diberikan oleh gumuk serta sumber daya alam yang diperoleh dari gumuk. Pada dasarnya kerusakan gumuk dapat menganggu siklus hidrologi yang akan memberikan pengaruh buruk bagi alam serta manusia.

Beberapa rekomendasi sebagai solusi permasalah pengelolaan gumuk sebagai daerah resapan air dan salah satu komponen hidrologi yaitu penegasan regulasi pemanfaatan gumuk disertai upaya konservasi, peningkatan partisipatif masyarakat, pemetaan fungsi gumuk sebagai daerah resapan air serta sarana rekeasi dan edukasi. Skema alternatif tersebut disajikan pada gambar 1.

  • Penegasan regulasi terkait gumuk harus dilakukan dengan perancangan dan pelaksanaan UU setingkat pemerintah daerah terkait upaya pengelolaan dan status gumuk agar tidak ada privatisasi gumuk. Gumuk menjadi salah satu daerah resapan air yang perlu dilestarikan sebagai upaya konservasi sumber daya air. Beberapa upaya konservasi sumber daya air tertuang pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2011 dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009. Pemerintah, khusunya Pemerintah Daerah Kabupaten Jember harus benar – benar konsisten dalam melaksanakan aturan tersebut.
  • Pemetaan atau zonasi fungsi gumuk yang digunakan untuk mengklasifikasikan beberapa gumuk sebagai kawasan lindung yang harus dikonservasi dan dilestarikan, gumuk untuk ditambang serta gumuk untuk sarana rekreasi dan pertanian. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemafaatan gumuk yaitu luas wilayahnya, topografi, jenis tanah serta tingkat kemampuan untuk menahan air dan erosi.
  • Valuasi gumuk sebagai aset daerah perlu dilakukan mengingat gumuk merupakan bagian dari ekosistem serta memberikan jasa lingkungan dan produk. Selain itu diperlukan kajian dampak melalui Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL – UKL) maupun valuasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk mengetahui dampak kerugian atau materi yang harus digantikan jika gumuk tersebut dieksploitasi secara berlebih. Selain itu pada dokumen tersebut penanggulangan dampak harus dilaksankan dengan sebenar – benarnya.
  • Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat yaitu Kyai atau Ulama. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan konservasi gumuk juga dapat ditingkatkan dengan penanaman komoditi tanaman tertentu yang bernilai ekonomi tinggi serta diaplikasikan teknik tumpang sari di daerah bukit.

Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh eksploitasi gumuk yang berlebih harus disosialisasikan kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat turut serta menjaga kelesatarian gumuk melalui kearifan lokal yang berlaku di Kabupaten Jember. Hal ini dilakukan karena dampak tersebut secara langsung atau tidak langsung akan berimbas pada masyarakat sekitar gumuk berupa permasalahan ekologi dan ketersediaan air bersih. Secara tidak langsung upaya tersebut meruapakan mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan global di sekitar gumuk. Alternatif pengelolaan gumuk dari uruaian di atas secara umum menggambarkan komponen berklenjutan yaitu penguatan peran institusi dalam mengambil kebijakan dan penerapan regulasi, kajian teknis tekait fungsi serta gumuk sebagai sumber daya alam, mengacu pada kondisi budaya serta upaya peningkatan perekonomian masyarakat. Menurut Cantlon dan Koeing (1999), aspek berkelanjutan harus memperhatikan integrasi antara ekonomi, sosial, lingkungan dan institusi.