REFLEKSI HARI SANTRI: INSPIRASI DISRUPSI PERILAKU MILLENIAL

Fauzan Muttaqien, Pemerhati Sosial, Mahasiswa Program Doktor Manajemen Universitas Jember.

Hari Santri pada tanggal 22 Oktober telah menjadi agenda tahunan nasional di dasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Peringatan Hari  Santri Tahun 2019 mengusung tema “Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia”. Dasar pertimbangan tanggal 22 Oktober adalah merujuk pada tercetusnya “Resolusi Jihad” yang memberikan komando “wajib jihad” dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari kepada para santri di seluruh Indonesia demi kewajiban ilahiah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Resolusi jihad tersebut kemudian menjadi semangat untuk menumpas penjajah melalui peristiwa heroik 10 Nopember 1945 yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Jika kita elaborasi makna peringatan Hari Santri 2019 yang mengusung tema tersebut, sedikitnya memberi kesadaran kepada masyarakat bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar ilmu pengetahuan agama islam, lebih luas lagi sebagai wahana menciptakan perdamaian dunia sebagaimana ruh agama islam yang rahmatanlilalamin (menciptakan kasih sayang di muka bumi) di balik penciptaan Allah SWT yang beragam atas “mahluknya”, agama Islam ramah dan moderat (wasatiyah) sehingga dapat menginspirasi santri untuk berkontribusi merawat perdamaian dunia, menjaga harmonisasi antar (suku, ras, gender, umat beragama, ormas sosial keagamaan) melalui semangat toleransi.

Sedikit menengok proses pendidikan keluarga di era 1960-1990 an, para orang tua umumnya berwasiat “wahai anaku, kewajiban orang tua adalah membekali ilmu agama (ISLAM) anak-anaknya sejak usia dini hingga kalian dewasa, perkara kalian kelak mau jadi “ahli fisika, dokter, pakar iptek dan ilmuwan lainnya, itu urusan taqdir dan nasib kalian, tetapi jika kalian tidak mengenal dan menjiwai perintah agama kelak kami orang tua akan berat hisab nya di hari kiamat”. Bagaimana dengan proses pendidikan keluarga pasca tahun 1990-an yang dianggap sebagai modernisasi peradaban? umumnya tidak berbeda, namun tantangan orang tua lebih besar karena generasi muda intens bergumul dengan High Technology. Tidak sedikit konten-konten peralatan technologi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam, sehingga kontrol orang tua lebih sulit, di bandingkan era sebelum tahun 1990-an. Jika tidak disikapi secara bijak, maka generasi muda rentan terjebak oleh dampak negatif dahsyatnya perkembangan technologi.

Di era millenial atau yang disebut dengan era digital, era industry 4.0 para santri sudah seyogjanya lebih pandai beradaptasi (life is the Continous Adjustment). Kaum santri umumnya di stigmatisasi sebagai “Kaum Sarungan, ahli dzikir dan tirakat”. Biarkan stigma tersebut tetap melekat dalam keseharian gaya hidup kaum santri. Karena itu memang cermin insan yang taat beragama, mencintai Allah dan kehati-hatian terhadap syari’ah menutup aurat. “Bersarung” tidak identik dengan keterbelakangan peradaban. Yang harus dilibas adalah “kesan” bahwa kaum santri miskin pengetahuan umum, buta teknologi, “taqlid buta” dan rentan menjadi korban “pihak-pihak yang Berkepentingan” khususnya dalam misi ekonomi, politik dan budaya.

Giat Bazar- Stand Konsultasi Cara Cepat Menghafal Al qur”an dan Giat Hari Santri-Stand Konsultasi Hukum dan Bisnis bagi Masyarakat
Giat Hari Santri – Bazar Produk Ekonomi Kreatif

PERAN SANTRI DALAM ERA DISRUPSI (Disruption Era)

Era disrupsi harus difahami sebagai tantangan normatif para santri. Mau tidak mau para santri harus segera dan mendesak dalam menyikapinya. Sebagai “assets” NKRI yang memiliki nilai bersejarah dalam proses dan pasca kemerdekan NKRI, para santri harus terdepan menjadi gerbang NKRI agar tidak kehilangan generasi. Idealnya para santri millenial harus memperhatikan Khazanah disiplin ilmu dengan tetap mengedepankan ilmu agama sebagai pengarah “akal dan Hati” dalam interaksi kehidupan dengan berbagai pihak dan di segala bidang. Oleh karena itu, sebagai asset bangsa, beberapa hal yang harus diperhatikan para santri untuk menghadapi era disrupsi, yaitu,

  1. Jangan pernah berhenti berinovasi, khususnya dalam menyikapi era ketidakpastian dibidang ekonomi, sosial, budaya dengan tetap mempertahankan jati diri sebagai seorang muslim dan rakyat NKRI.
  2. Pandai dalam menterjemahkan regulasi; Perkembangan teknologi membuat setiap insan lebih mudah mencari pilihan hidup. Oleh karena itu, tetaplah tunduk pada petuah-petuah ‘alim ulama’ sebagai waratsatul anbiya’. Merekalah sebagai panutan utama dalam menyikapi segala problematika kehidupan di berbagai bidang. Jangan membuat keputusan-keputusan yang membuat degradasi moral, dan salah persepsi tentang ajaran-ajaran agama, sehingga menimbulkan sentimen negatif eksternalitas terhadap ajaran Agama Islam.
  3. Manfaatkan teknologi di jalur yang tepat; setiap insan memiliki hak untuk memilih keputusan hidup yang menawarkan sesuatu dengan berbagai kelebihan. Oleh karena itu, sudah seharusnya para santri memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas diri dan memfilter keberagaman informasi, sehingga tidak terjebak oleh “keputusan hidup” yang seolah-olah baik, namun salah menurut ajaran agama islam.
  4. Jangan pernah merasa puas; setiap santri di era millennial harus mengembangkan performa nya, baik secara verbal, fisik, maupun psikis, agar dapat bersaing dengan SDM kalangan lainnya. Karena itu kewajiban para santri adalah selalu menumbuhkan kualitas keilmuan, meningkatkan profesionalitas, menjaga Integritas, meningkakan Iman, Islam dan Ikhsan dimanapun berada sehingga tidak rentan terjebak dalam perbuatan syirik dan tercela.
  5. Ciptakan hubungan harmonis dalam “lintas keberagaman”; Pada era disrupsi ini, penting bagi para santri untuk berinteraksi secara terbuka dengan berbagai pihak untuk mencapai “Poin-Poin” yang berkeadilan dan kemakmurann bersama. Menjauhkan dari sifat egosentris, dan agnostisme. Dengan demikian para sanntri akan menjadi sosok yang siap memberi solusi secara arif dan cekatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip-prinsip 4 pilar kebangsaan.

SELAMAT HARI SANTRI 2019

(Fauzan Muttaqien, Pemerhati Sosial, Mahasiswa Program Doktor Manajemen Universitas Jember.)