Gautama Budi Arundhati , SH., LL.M: “HAM merupakan ‘seperangkat hak’ yang dimiliki setiap individu secara natural”.
Mengerti ataupun tidak kita sebagai masyarakat tentang masalah HAM, dan tak ayal lagi setiap tanggal 10 Desember tak hanya di Indonesia tapi seluruh Dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, kebebasan berpendapat, kebebasan beribadah, kebebasan dari kemiskinan, dan kebebasan dari rasa takut. Kebebasan-kebebasan tersebut dipandang relevan dan sejalan dengan Hak Asasi Manusia Saat Ini.
“HAM merupakan ‘seperangkat hak’ yang dimiliki setiap individu secara natural, namun pengaturannya mengikuti perkembangan peradaban manusia yang berhubungan dengan kesadaran masyarakat akan hak-haknya dan kemauan penguasa untuk melindunginya” begitulah Gautama Budi Arundhati , SH., LL.M., menyatakan pendapatnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember ini juga mengungkapkan tentang sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia, perkembangan HAM yang terdorong berdasar konsep gotong royong terbentuk dalam budaya bangsa.
“HAM di Indonesia menurut saya sudah ada sejak konsep ‘gotong-royong’ terbentuk dalam budaya bangsa Indonesia” katanya.
Pengajar mata kuliah “Hukum HAM” tersebut juga menambahkan “HAM terbentuk jauh sebelum negara Indonesia itu sendiri terlahir sebagai negara, karena gotong royong mensyaratkan akan adanya toleransi, dan toleransi hanya dapat terbentuk melalui rasa ‘saling menghormat”.
Gautama mengatakan di Indonesia pengaturan tentang HAM telah dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, “dalam Ayat (1) Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Dia menjelaskan, “hal ini menunjukkan adanya ‘non derogable rights’ yang diakui dan dilindungi oleh ‘the supreme law of the land”. katanya.
Gautama juga menambahkan “Namun demikian terdapat pembatasan yang berlebihan dalam Ayat (2) Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa” Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata. untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis,… pembatasan yang berlebihan yang saya maksud adalah kalimat ‘pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang”, tambahnya.
Gautama juga menyatakan, “Logika dalam konsep HAM yang dituangkan dalam undang undang tersebut sebenarnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Undang-Undang adalah derivasi dari Undang-Undang Dasar, dan apabila Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan dan melindungi hak-hak yang bersifat non derogable seperti halnya dalam Pasal 28I Ayat (1), lantas mengapa Pasal 28J Ayat(2) UUD 1945 tersebut menyerahkan ‘pembatasannya’ kepada Undang-Undang?. Jadi dalam hal ini ‘kepastian’ akan menjadi sangat relatif, pengaturan semacam ini dapat disebut sebagai ‘clawback clause”, Katanya.
Pria asli kota pandalungan ini juga menganalisa hak-hak manusia yang di tinjau dari aspek ranah keadilan dengan konsep rasa adil yang ditinjau dari segi hukum, “Banyak definisi mengenai keadilan, namun secara prinsipiil, keadilan haruslah bersifat universal yang dapat diterima sebagai ‘rasa adil’ menurut semua orang dan hukum yang baik mensyaratkan adanya keadilan didalamnya”,tegasnya.
Gautama menuturkan persamaan hak dan penyelesaian dalam hukum secara universal di Indonesia juga tidak lepas dari pengalaman yang terjadi, sesuai dengan kasus-kasus yang ada atau pelanggaran HAM yang terjadi.
Dia juga menambahkan “Apabila berbicara masalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM, penting untuk dipahami bahwa ‘political will’ sangat berperan besar. Untuk masalah pelanggaran HAM setelah UU Pengadilan HAM berlaku, ‘political will’ pada dasarnya lebih kepada eksekutif, namun untuk masalah pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM ada, bertumpu pada ‘political will’ lembaga representative. Selain itu semua, penegakan HAM tidak terlepas dari lembaga peradilan yang reliable”, ujarnya.
Sebagai praktisi pendidikan hukum, Gautama juga mengapresiasi perkembangan permasalahan HAM yang ada di Indonesia, “ secara umum, perlindungan dan kesadaran HAM di Indonesia menurut saya semakin hari akan semakin membaik, terbukti dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya, diratifikasinya kovenan dan konvensi HAM, dan pengaturan HAM yang semakin kompleks dan sebagainya, meskipun masih banyak aturan yang masih menyisakan perdebatan”, tambahnya.
Oleh karena itu, Gautama Budi Arundhati , SH., LL.M menyatakan ranah jangkauan hak asasi manusia saat ini seperti hak-hak sipil, politik, budaya, ekonomi, dan sosial, dan ditengah kemajuan teknologi, kemanusiaan adalah merata tanpa pengecualian, tanpa terkebiri dalam arti yang sebenarnya.
“Saya tidak melihat adanya pengebirian, keterkekangan maupun ketertinggalan dalam arti sebenarnya. Namun perlu dipahami bahwa terdapat perbedaan relasi antara negara dan warga negara dalam konteks hak ekonomi sosial dan budaya disatu sisi dan hak sipil dan politik di sisi lain. Relasi antara negara dan warga negara dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya menitik beratkan pada kewajiban negara untuk masuk kedalam wilayah warga negara dalam proses mensejahterakan, di lain pihak hak sipil dan politik mensyaratkan adanya tuntutan negara untuk menjauh dari ‘urusan’ warga negara. Pelaksanaan kedua hal tersebut tidak hanya menjadi masalah hukum, namun juga sangat bergantung pada hal-hal yang bersifat non hukum, seperti ekonomi, politik dan sebagainya”, ungkapnya.
Gautama Budi Arundhati , SH., LL.M juga memberikan masukan atau solusi secara spesifik tentang masalah HAM untuk Indonesia saat ini, menurutnya “ secara umum, harus ada pembenahan secara bersamaan, baik itu pembenahan dan penegakan hukumnya, perekonomian negara maupun sistem pendidikan. Upaya menciptakan penghormatan HAM tidaklah cukup hanya apabila telah diatur dalam hukum yang adil namun penghormatan HAM juga harus terintegrasikan dalam budaya masyarakatnya yang terbangun diantaranya melalui pendidikan”, tegasnya.(ysk/hr)